Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)
Konsep Pendekatan Contextual Teaching
And Learning (CTL)
- Pengertian Contextual Teaching And Learning
Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and
learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.[1]
Sebagaimana disebutkan juga oleh Johnson sebagaimana
dikutip oleh Agus Gerrad , ia merumuskan pengertian contextual
teaching and learning sebagai berikut:
“The contextual teaching and learning system is an
educational process that aims to help student see meaning in the academic
material they are studying by connecting academic subject with the context of
their daily lives, that is, with the context of their personal, social and
cultural circumstances”.
“bahwa sistem contextual teaching and learning
merupakan proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam
bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan
pribadinya, sosialnya dan budayanya.[2]
Jadi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and
learning) merupakan konsep belajar di mana guru menghadirkan situasi dunia
nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep ini diharapkan hasil pembelajaran akan
lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak didik untuk
memecahkan persoalan, berfikir kritis dan melaksanakan observasi serta menarik
kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya.[3]
2. DASAR DAN TUJUAN
Sejauh ini, pendidikan kita masih didominasi oleh
pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus dihafal.
Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, dan kemudian
ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah
strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Strategi belajar yang
tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi strategi yang mendorong
siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka.[4]
Adanya kecenderungan dewasa ini untuk kembali ke
pemikiran bahwa anak didik akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak didik mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan sekedar mengetahui apa yang dipelajarinya. Pembelajaran
yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi
mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak didik dalam
memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang dan itulah yang terjadi di
kelas-kelas sekolah kita.[5]
Adapun dasar / landasan pembelajaran contextual
teaching and learning (CTL) adalah sebagai berikut :
a.
Landasan
Filosofi
Landasan filosofi pendekatan contextual teaching and
learning (CTL) adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat
dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proporsi yang terpisah, tetapi
mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan. Konstruktivisme berakar pada
filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad ke-20.
Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang dipelajari berhubungan
dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika
siswa terlibat aktif dalam proses di sekolah.[6]
Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL
dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi
CTL siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal.
b.
Landasan
Psikologi
Psikologi yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek
kejiwaan kehidupan bermasyarakat, dalam hal ini sesuai dengan psikologi dasar
manusia yaitu kebermaknaan dalam kehidupan. Jika kita mempelajari psikologi
modern, akan mudah bagi kita untuk melihat mengapa pencarian terhadap makna
adalah sifat wajib yang menjadi ciri utama CTL. Para
psikolog telah lama mengetahui bahwa semua orang memiliki dorongan dari dalam
dirinya untuk menemukan makna dalam kehidupan mereka. Sesuatu memiliki makna
jika sesuatu itu penting dan berarti bagi diri pribadi seseorang.[7]
Seorang psikolog Austria terkenal, Viktor Frankl
berkata bahwa pencarian seseorang akan makna adalah motivasi utama hidupnya,
dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya. Dengan memberikan makna pada hidup,
manusia mengaktualisasikan makna potensial pada diri mereka sendiri.
c.
Landasan Sosiologi
CTL adalah suatu pendekatan yang berbeda, melakukan lebih
daripada sekedar menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik
dengan konteks keadaan mereka sendiri. CTL juga melibatkan dalam mencari makna
konteks itu sendiri. CTL mendorong mereka melihat bahwa manusia sendiri
memiliki kapasitas dan tanggung jawab untuk mempengaruhi dan membentuk konteks
yang meliputi keluarga, kelas, klub, tempat kerja, masyarakat dan lingkungan
tempat tinggal hingga ekosistem. Jadi, dalam hal ini konsep kebermasyarakatan
sangat ditonjolkan.[8]
Sejauh ini, pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada
kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:
a.
Proses
Belajar
1) Belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa
harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
2) Anak belajar dari mengalami, mencatat sendiri
pola-pola bermakna dari pengetahuan baru dan bukan diberi begitu saja oleh
guru.
3) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan
menjadi fakta-fakta atau proporsi yang terpisah tetapi mencerminkan ketrampilan
yang dapat diterapkan.
4) Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide.
5) Proses belajar dapat mengubah struktur otak,
perubahan struktur otak itu berjalan terus menerus seiring dengan perkembangan
organisasi dan ketrampilan seorang. Untuk itu perlu adanya pemahaman tentang
strategi pembelajaran.
b.
Transfer
Belajar
1)
Siswa
belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pembinaan orang lain.
2)
Ketrampilan
dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas dan sedikit demi
sedikit.
3)
Penting
bagi siswa tahu “untuk apa ia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan
dan ketrampilan itu.
c.
Siswa
sebagai pembelajar
1)
Manusia
mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu dan seorang anak
mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
2)
Pentingnya
strategi belajar dalam pembelajaran baik sesuatu yang mudah maupun sulit
dipelajari.
3)
Siswa
belajar dan menemukan sendiri.
d.
Pentingnya
lingkungan belajar
1)
Belajar
efektif dimulai dari lingkaran belajar yang berpusat pada siswa, dari guru
akting di depan kelas, siswa menonton, ke siswa acting, bekerja dan berkarya
guru mengarahkan.
2)
Pengajaran
berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baik mereka.
3)
Umpan
balik amat penting bagi siswa yang berasal dari proses penilaian yang benar.
Hal tersebut sejalan dengan pengertian belajar yang
disebutkan oleh Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid dalam kitab At-Tarbiyah
wa Thuruqut Tadris mendefinisikan belajar adalah :
Belajar merupakan perubahan tingkah laku pada hati (jiwa)
si pelajar berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki menuju perubahan baru.
Pembelajaran kontekstual hanya merupakan sebuah strategi
pembelajaran. Adapun tujuan dari pembelajaran kontekstual itu sendiri adalah
agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna yaitu membantu siswa untuk
menemukan makna dari apa yang dipelajarinya dengan melalui menghubungkan content
materi akademik dengan content kehidupan sehari-hari. Pendekatan
kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang
ada. Selain itu pembelajaran kontekstual juga bertujuan untuk membekali siswa
dengan pengetahuan secara fleksibel, dapat diterapkan satu permasalahan ke permasalahan
lain dan dari satu konteks ke konteks yang lain.[10]
- Komponen-komponen Contextual
Teaching and Learning (CTL)
a.
Konstruktivisme
(constructivism)
Konstruktivisme (constructivism) merupakan
landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sendiri sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta,
konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Belajar lebih dari sekedar mengingat bagi siswa untuk
benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus
bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya, dan selalu
bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau menjejalkan
sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar
konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benar siswa.[11]
Esensi dari hasil constructivism adalah ide bahwa
siswa menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi
lain. Dan bila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan
dasar itu, pembelajaran harus di kemas menjadi proses mengkonstruksi bukan
menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan
mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan pembelajaran dan bukan guru.[12]
Konsep konstruktivisme ini sesuai dengan ide yang telah
diterapkan dalam pendekatan ketrampilan proses, di mana bila guru tetap
bersikeras untuk memberikan fakta dan konsep dan juga dilatih untuk
mengembangkan ilmu pengetahuannya. Para ahli
psikologi umumnya sependapat bahwa anak-anak mudah memahami konsep yang rumit
dan abstrak jika disertai dengan contoh konkrit dan mempraktekkan sendiri
merupakan upaya penemuan konsep melalui perlakuan terhadap kenyataan fisik dan
melalui penanganan benda yang benar-benar nyata.[13]
Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan
pandangan kaum objectifies yang lebih menekankan pada hasil
pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih
diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat
pengetahuan. Tujuan pembelajaran konstruktivitis menekankan pada penciptaan
pemahaman yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam konteks nyata.
Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan
bagi siswa
2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan
menerapkan idenya sendiri
3) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi
mereka sendiri dalam belajar.[14]
b. Menemukan (inquiry)
Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis contextual teaching and learning.
pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri guru sebagai
pengajar harus selalu merancang pembelajarannya dengan kegiatan yang merujuk
pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan.
Inquiry learning is approach in which the
teacher presents a puzzling situation and students solve the problem by testing
their conclusions.[15]
“Pembelajaran inquiry merupakan
pendekatan yang mana guru menyuguhkan situasi tertentu dan siswa menyelesaikan
problem dengan mengumpulkan data dan mengevaluasi pendapat mereka”.
Kata kunci dari strategi inquiry adalah “siswa menemukan
sendiri”. Adapun langkah dari inquiry adalah sebagai berikut:
1) Merumuskan masalah (dalam pelajaran apapun)
2) Mengamati/melakukan observasi
3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam
tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya.
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya
pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien lain.[16]
Kegiatan menemukan (inquiry) pada dasarnya adalah
cara menyadari apa yang telah dialami, karena itu inquiry menuntut peserta
didik berfikir. Metode ini menempatkan peserta didik pada situasi yang
melibatkan mereka dalam kegiatan intelektual. Metode ini menuntut peserta didik
memproses pengalamannya belajar menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan
nyata dengan demikian melalui metode ini peserta didik dibiasakan untuk
produktif, analisis dan kritis.[17]
Selain itu teknik pembelajaran inquiry juga memiliki
beberapa keunggulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Dapat mengembangkan dan membentuk sel concept
pada diri siswa sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide
yang lebih baik.
2) Membantu dalam menggunakan ingatan dan
transfer pada situasi proses belajar yang baru.
3) Mendorong siswa untuk berfikir intuitif dan
merumuskan hipotesanya sendiri.
4) Mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja
atas inisiatifnya sendiri, bersikap objektif, jujur dan terbuka.
5) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
6) Situasi proses belajar menjadi lebih
merangsang.
7) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan
individu.
8) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
9) Siswa dapat menghindari dari cara-cara belajar
tradisional.
10) Dapat memberikan waktu pada siswa secukupnya
sehingga mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.[18]
c. Bertanya (questioning)
Questioning
(bertanya) merupakan induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari
pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran.
Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, mengkonfirmasi, mengapresiasi,
mengarahkan, mengklarifikasi dan menghindari kesalahpahaman. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berfikir siswa.
Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara
aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan,
pertanyaan-pertanyaan spontan yang diajukan siswa dapat digunakan untuk
merangsang siswa berfikir, berdiskusi dan berspekulasi. Guru dapat menggunakan
teknik ini dengan cara memodelkan keingintahuan siswa dan mendorong siswa agar
mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang
gejala-gejala yang ada, belajar bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat diuji dan belajar saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan
penjelasan-penjelasan yang ada.
Dalam sebuah pembelajaran, kegiatan pembelajaran berguna
untuk:
1) Menggali informasi, baik administrasi maupun
akademis
2) Mengecek pemahaman siswa
3) Membangkitkan respon pada siswa.
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.
5) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa.
6) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang
dikehendaki guru.
7) Untuk membangkitkan lebih banyak lagi
pertanyaan dari siswa.
8) Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Aktifitas bertanya juga ditemukan ketika siswa
berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati
dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menumbuhkan dorongan untuk
bertanya.[19]
d. Masyarakat belajar (learning community)
Pada dasarnya learning community mengandung arti sebagai
berikut:
1) Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi
untuk berbagai gagasan dan pengalaman.
2) Ada kerjasama untuk memecahkan masalah.
3) Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik
dari pada kerja individual.
Konsep learning community menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari ‘Sharing’ antara teman, antar kelompok dan antara yang tahu ke
yang belum tahu. Masyarakat belajar meliputi semua orang baik yang ada di ruang
ini, kelas ini, di sekitar sini, dan juga orang-orang yang ada di luar sana , semua adalah
anggota masyarakat belajar.
Dalam kelas kontekstual, guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam
kelompok yang anggotanya heterogen yang pandai mengajari yang lemah. Yang tahu
memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang
lambat. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan,
jumlah bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya atau guru dan lain-lain.
Masyarakat belajar bisa terjadi bila ada proses komunikasi dua arah, yang
keduanya (lebih) terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.[21]
Kegiatan learning community sangat penting dalam
suatu pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan oleh Mel Silbermen bahwa untuk
membuat siswa agar aktif sejak awal yaitu dengan cara membuat team (team
building) dengan tujuan agar siswa menjadi kenal satu sama lain dan
tercipta semangat kerjasama dan saling bergantung.[22]
Kegiatan learning community juga sesuai dengan
salah satu prinsip yang digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam belajar yaitu
prinsip hubungan sosial atau sosialisasi dalam belajar siswa perlu dilatih
untuk bekerjasama dengan rekan-rekannya. Ada
kegiatan belajar tentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan bersama-sama,
misalnya dalam kerja kelompok. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam
proses pembentukan kepribadian anak.[23]
Jadi dengan kegiatan learning community diharapkan
siswa akan berwawasan luas karena banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang
diperoleh dari berbagai sumber.
e. Pemodelan (modeling)
Pemodelan (modeling) merupakan komponen
pembelajaran kontekstual selanjutnya pemodelan pada dasarnya membahasakan
gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para
siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar
siswa-siswanya melakukan. Jadi maksudnya, dalam suatu pembelajaran ketrampilan
atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan dapat berbentuk
demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep/aktifitas belajar. Dengan kata
lain, model itu bisa beberapa cara mengoperasikan sesuatu dan lain-lain.
Konsep belajar observasional memperlihatkan bahwa
seseorang dapat belajar dengan mengamati orang lain melakukan apa yang akan
dipelajari. Karena itu perlu diperhatikan agar siswa lebih banyak diberikan
kesempatan untuk mengamati model-model perilaku yang baik / yang kita inginkan
dalam belajar. Belajar model dapat dilakukan dengan melalui fase-fase yaitu fase
perhatian (attention phase), fase retensi (retention phase), fase
reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivation phase).
Fase-fase ini akan menghasilkan penampilan seseorang.[24]
Dalam pembelajaran berbasis contextual teaching and
learning, guru satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa atau juga didatangkan dari luar yaitu orang yang kompeten dalam
bidangnya.[25]
f. Refleksi (reflection)
Refleksi (reflection) juga merupakan bagian
penting dalam pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching and
learning. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari
atau berfikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang
lalu. Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang
baru diterima.[26]
Refleksi juga berarti cermin yang maksudnya adalah
kegiatan bercermin pada pengalaman belajar yang baru saja dilakukan para siswa
baik secara perorangan atau kelompok.[27]
Kegiatan refleksi biasanya dilakukan pada akhir pembelajaran.
Refleksi diwujudkan dengan melakukan kegiatan berupa
gagasan-gagasan, pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperoleh hari itu,
catatan di buku, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi
ataupun hasil karya.
g. Penilaian sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian sebenarnya (authentic assessment) adalah
prosedur penilaian pada pembelajaran berbasis contextual teaching and
learning sesuai dengan karakteristiknya, kurikulum 2004 diiringi oleh
system penilaian sebenarnya, yaitu penilaian berbasis kelas.[28]
Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah
sebagai berikut:
1) Harus mengukur semua aspek pembelajaran yaitu
proses, kinerja dan produk.
2) Dilakukan selama dan sesudah proses
pembelajaran berlangsung.
3) Menggunakan berbagai cara dan sumber.
4) Tes hanya salah satu alat pengumpul data
penilaian.
5) Tugas-tugas yang diberikan pada siswa harus
mencerminkan bagian terhadap siswa yang nyata tiap hari, mereka harus dapat
menceritakan pengalaman/kegiatan yang mereka lakukan tiap hari.
6) Penilaian harus menekankan ke dalam
pengetahuan dan keahlian siswa bukan keluasannya.
Pada umumnya para pendidikan mengenali empat jenis
penilaian autentik: portofolio, pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban
tertulis secara lengkap. Dalam kategori yang luas tersebut, kemungkinan untuk
melakukan penilaian autentik sangatlah besar.
Dalam membuat soal untuk penilaian autentik, apapun
kategori yang dipakai, para guru CTL menganggap prosedur di bawah ini sangat
membantu :
1) Jelaskan dengan tepat apa yang harus diketahui
dan bisa dikerjakan oleh para siswa. Beri tahukan kepada mereka standar yang
harus dipenuhi.
2) Hubungkan pelajaran akademik dengan konteks
dunia nyata dengan cara yang penuh makna, atau lakukan simulasi dengan konteks
dunia nyata yang penuh makna.
3) Tugaskan para siswa untuk menunjukkan apa yang
bisa mereka lakukan dengan apa yang mereka ketahui, untuk memperlihatkan
ketrampilan dan kedalaman pengetahuan mereka, dengan memproduksi hasil;
contohnya, produk nyata, presentasi, koleksi hasil tugas.
4) Putuskan tingkat penguasaan yang harus
dicapai.
5) Tampilkan tingkat penguasaan tersebut dalam
sebuah rubrik, yaitu dalam bentuk pedoman penilaian yang dilengkapi dengan
kriteria yang digunakan untuk menilai.
6) Biasakan para siswa dengan rubrik tersebut.
Ajak para siswa untuk terus menerus melakukan penilaian diri saat mereka
menilai kerja mereka sendiri.[29]
“Assessment describes the
status of a phenomenon at particular time. It merely describes a situation that
prevails without value judgment, attempts. No explanation of underlying reasons
and make no recommendation for action”.[30]
“Penilaian itu menguraikan sesuatu
keadaan dari suatu peristiwa pada waktu tertentu. Jadi hanya menguraikan
tentang situasi untuk mengatasi tanpa membuat suatu keputusan nilai, mencoba
untuk tidak memberi suatu keterangan dari satu pendapat dan tidak menggunakan
rekomendasi untuk suatu perbuatan”.
Assessment adalah
proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan
belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru
agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah
untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang
seharusnya ditekankan pada upaya membantu agar siswa mampu mempelajari (learning
how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin
informasi di akhir periode pembelajaran. Jadi assessment menekankan pada
proses pembelajaran data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata
siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.[31]
- Karakteristik Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Menurut Johnson, sebagaimana dikutip oleh Agus Gerrad dan
Nurhadi dalam bukunya pembelajaran kontekstual, menyebutkan ada delapan
komponen/karakteristik utama dalam sistem pembelajaran kontekstual yang
disebutkan sebagai berikut:
a. Melakukan hubungan bermakna (making meaning
full connections)
b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing
significant work)
c. Belajar yang diatur sendiri (self regulated
learning)
d. Bekerja sama (collaborating)
e. Berfikir kritis dan kreatif (critical and
creative learning)
f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing
and individual)
g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high
standard)
h. Menggunakan penilaian autentik (using
authentic assessment).[32]
- Peran
Guru dalam Pembelajaran CTL
Guru sebagai pendidik dan pengajar merupakan salah satu
faktor yang penting dalam pendidikan. Setiap guru dituntut untuk mampu
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di kelas sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditentukan.
Seiring berjalannya waktu dan berubahnya kurikulum secara
fleksibel guru harus mampu menyesuaikan diri demi keberhasilan suatu
pendidikan. Dengan KBK, guru dituntut secara profesional untuk dapat menyusun
dan membuat rencana pembelajaran yang berdasarkan pada kemampuan dasar dari peserta
didik. Guru harus mampu mengejawantahkan potensi diri dan bakat peserta didik
sehingga mampu mencari dan menemukan ilmu pengetahuannya sendiri. Guru bukan
lagi satu-satunya orang yang mempunyai pengetahuan, mencurahkan atau mensuplai
peserta didik dengan ilmu pengetahuan, tetapi mereka hanya sebagai motivator,
mediator dan fasilitator dalam proses pendidikan.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuannya. Maksudnya adalah guru lebih banyak berurusan dengan
strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah
tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas.
Sesuatu yang baru itu datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.
Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.[33]
Secara garis besar, agar proses pengajaran kontekstual
lebih efektif, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
a. Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan
dipelajari oleh siswa.
b. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup
siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
c. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat
tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan
kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual.
d. Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep
atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
e. Melaksanakan pengajaran dengan selalu
mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan
/ pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya
dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya siswa didorong untuk
membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori
yang sedang dipelajarinya.
f. Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa.
Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan
pembelajaran dan pelaksanaannya.[34]
- Penyusunan Rencana Pembelajaran Berbasis CTL
Rencana Pembelajaran (RP) adalah rencana atau program
yang disusun oleh guru untuk satu atau dua pertemuan, untuk mencapai target
satu kompetensi dasar rencana pembelajaran diturunkan dari silabus yang telah
disusun dan bersifat aplikatif di kelas. Berisi tentang kompetensi dasar yang
akan dicapai, indikator, materi pokok, skenario pembelajaran tahap demi tahap
dan penilaiannya.
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran
lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi
skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya
sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan
pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah
pembelajaran dan authentic assessment-nya. Perumusan tujuan yang berkecil-kecil,
bukan menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembelajaran berbasis
kontekstual, mengingat yang akan dicapai bukan “hasil” tetapi lebih pada
strategi belajar yang diinginkan bukan banyak tetapi dangkal, tapi “sedikit”,
“mendalam”.
Dalam konteks itu program yang dirancang guru benar-benar
rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakan bersama siswa. Secara umum
tidak ada perbedaan mendasar, format antara rencana pembelajaran konvensional
dengan rencana pembelajaran kontekstual. Sekali lagi yang membedakan hanya pada
penekanannya. Rencana pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi
tujuan yang akan dicapai, sedangkan rencana pembelajaran untuk pembelajaran
kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajaran.[35]
- Penerapan CTL dalam Kelas
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika
menerapkan ketujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya.
Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang
studi apa saja dan kelas yang bagaimana keberadaannya.
Secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam
kelas sebagai berikut:
a. Kembangkan pikiran bahwa anak akan belajar
lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan
mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri
untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dan
bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam
kelompok-kelompok)
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai
cara.[36]

[1] Depdiknas, Pendekatan Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning), (Jakarta :
2002), hlm. 5.
[2] Agus Gerrad Senduk, Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual
dan Penerapannya dalam KBK, (Malang :
UM Press, 2003), hlm. 12.
[3] Ibid., hlm. 4.
[4] Ibid., hlm. 9.
[5] Hernowo, Menjadi Guru yang Mampu dan Mau Mengajar
dengan Pendekatan Kontekstual, (Bandung :
Mizan Learning Center (MLC), 2005) hlm. 63.
[6] Nurhadi, Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban, (Jakarta : Grasindo,
2004), hlm. 105.
[7] Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning,
Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu
Setiawan, (Bandung :
Mizan Learning Center (MLC), 2006), hlm. 62.
[8] Ibid., hlm. 66.
[9] Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid,
At-Tarbiyah wa Thuruqut Tadris, Juz I, (Mesir : Darul Ma’arif, t.th.), hlm.
169.
[10] Depdiknas, op.cit., hlm. 2-5.
[11] M. Nur dan Prima Retno Wulandari, Pengajaran Berpusat
pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran, (Surabaya : Unesa University Press, 2001), hlm.
1-2.
[12] Agus Gerrad Senduk, Nurhadi, op.cit., hlm. 33-34.
[13] Conny Semiawan, dkk., Pendekatan Ketrampilan Proses,
(Jakarta: Gramedia Widya Sarana Indonesia, 1992), hlm. 14.
[14] Nurhadi, op.cit., hlm. 47.
[15] Anita E. Woolfolk, Educational Psychology,
(Singapore: Allyn and Bacon, 1995), hlm. 491.
[16] Depdiknas, op.cit., hlm. 12-13.
[17] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2003), hlm. 235.
[18] Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1998), cet. V, hlm. 77.
[19] Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 45-46.
[20] Ibid., hlm. 47.
[21] Depdiknas, op.cit., hlm. 15.
[22] Mel Silberman, Active Learning, (Singapore:
Allyn and Bacon, 1996), hlm. 15.
[23] Conny Semiawan, dkk., op.cit., hlm. 1.
[24] Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis
Kompetensi, (Jakarta :
Gaung Persada Press, 2005), cet. 5, hlm. 87.
[25] Depdiknas, op.cit., hlm. 17.
[26] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan, (Jakarta :
Persada Media, 2006), hlm. 266.
[27] Dasim Budi Mansyah, Pembelajaran Berbasis Portofolio,
(Bandung :
Genesindo, 2003), hlm. 115.
[28] Nurhadi, Kurikulum 2004, Pertanyaan dan
Jawaban, op.cit., hlm. 168.
[29] Elaine B. Johnson, op.cit., hlm. 209-291.
[30] John W. Best, Research in Education, (New Jersey:
Englewood Cliffs, 1981), hlm. 93.
[31] Agus Gerrad Senduk, Nurhadi, op.cit., hlm. 51-53.
[32] Ibid., hlm. 14.
[33] Depdiknas, op.cit., hlm. 2.
[34] Agus Gerrad Senduk, Nurhadi, op.cit., hlm. 22.
[35] Ibid., hlm. 102-103.
[36] Depdiknas, op.cit., hlm. 10.

Komentar
Posting Komentar